on Kamis, 28 November 2013
“Bangun ! imam besar, makmum udah nunggu nih…” bisikan lembut yang mengikuti kecupan dipipiku itu membuatku tak bisa menolak untuk membuka mataku yang masih lengket ini. Kulirik jam di dinding oranye kamar tidur kami dengan seperempat mata terbuka. Pukul tiga pagi.

“Setengah  jam  lagi  yah  makmum  Cantik,  Imam  Besar  masih  ngantuk berat nih…!” kututupkan lagi selimut yang tersingkap ini ke kepala ku.

“Gak  mau,  harus  bangun  sekarang,  ntar  kucubit  lo!”  kali  ini  rengekan manja ini tak bisa kutolak lagi. Dengan bergaya sempoyongan ku melangkahkan ke kamar mandi untuk berwudhu. “Eh…selimutnya gak usah dibawa sayang…!

Pagi  ini  aku  berpura-pura tampak capek. Setelah tidurku tadi malam “terganggu” untuk shalat malam, disambung shalat subuh. Dan “terpaksa” membaca satu juz Al-Qur’an agar aku tidak terlelap lagi. Dengan gaya kuyu aku duduk di depan meja makan menanti sarapan yang disiapkan istriku. Hari ini aku berangkat pagi. Ada rapat.

“Pagi Kanda…pagi ini Dinda buatkan sop pavorit Kanda, biar gak ngantuk lagi.” Senyum manis istriku sudah menyambutku di ruang makan. Aku masih pura-pura sebal. Padahal senyum itulah yang membuatku tak bisa pergi lama darinya dalam dua tahun terakhir ini.

Aku teringat ketika pertama kali kami bertemu. Sebenarnya bukan yang pertama, dia adalah teman SMP ku. Namun sejak lulus SMP kami tak pernah berjumpa sampai kami bertemu diruang Poliklinik Umum RS Dr.Sardjito. Secara kebetulan, sebuah skenario yang indah dari Sang Maha Sutradara. Perjumpaan yang akan mengubah jalan cerita hidupku.

Perutku yang melilit-lilit sejak pagi memaksaku untuk terpaksa menginjakkan ke tempat yang paling aku benci, rumah sakit. Mungkin karena sehari sebelumnya aku dan teman-teman jurusan mesin berpesta di rumah salah satu teman yang telah di wisuda. Seperti biasa anak-anak mesin yang 98,57 persen laki-laki pasti akan melakukan sesuatu yang “radikal” walau kadang konyol. Sesuatu yang dianggap sebagai permainan untuk membuktikan “kejantanan” yang kadang tidak jelas parameternya. Kemenanganku di lomba makan sambal yang mengerikan itu telah mengantarkanku ketempat yang kubenci ini. Walaupun akhirnya peristiwa itu amat kusyukuri.

Waktu itu aku belum lulus, walaupun angka sepuluh menempel dengan malu-malu di semester yang sudah aku tempuh. Biasa anak Mesin memang lambat lulus, begitu biasanya aku berapologi. Walaupun sebenarnya sudah banyak temanku yang lulus. Termasuk yang menyediakan “Pesta Sambal” itu. Ketika aku melangkah masuk keruang periksa, kulihat senyum yang tidak akan pernah kulupakan. Yanti, temanku SMP dulu, aku tidak akan lupa. Meskipun kini dia memakai kerudung besar di kepalanya. Itulah satu-satunya perubahan besar yang tampak padanya. Sebentar, dia juga bertambah cantik!

“Masya Allah, Tyo ya ? Assalamualaikum…kena apa ?” kata-kata pertama setelah delapan tahun tak bertemu. Waktu itu aku tak banyak bicara, keterkejutan dan sesuatu bergemuruh dihatiku membuatku menjadi pendiam. Bahkan ketika dia mulai “menginterogasi” gejala sakitku aku hanya menjawab sepotong sepotong. Padahal biasanya aku sangat rewel bila diperiksa.

Ketika itu Yanti masih ko-as. Setelah wisuda menjadi S.Ked. beberapa bulan sebelumnya. Entah mengapa sejak pertemuan itu, aku selalu jadi ingin bertemu dengannya. Padahal saat itu aku sudah punya pacar, Kristin.

Ya, saat itu pergaualanku sangat bebas. Aku tak perduli ketika banyak temanku  yang  “alim” mempertanyakan  hubunganku  dengan  Kristin  yang Khatolik itu. Waktu itu tak masalah bagiku pacaran dengan gadis yang berbeda agama. Toh belum tentu menikah.

“Ah, jangan fanatik, dosen kita aja ada yang istrinya beda agama. Dan mereka oke-oke saja.” Argumen yang selalu aku pakai untuk menepis suara miring tentang Kristin. Namun akhir-akhir itu Kristin agak menjauh dariku setelah aku menolak ikut acara natalan bersama keluarganya. Entahlah walaupun dari sentuhan religius, aku masih merasa perlu untuk tetap konsisten sebagai orang Islam. Aku pernah dengar ada kiyai yang melarang  umat Islam ikut natalan.

“Wah…males Kris. Lagian aku kan orang Islam. Aneh kalo ikut natalann nanti dikira murtad aku…”

Kristin yang mulai berlalu dan perjumpaan yang berkesan di Poliklinik, semakin membuatku mantap untuk mendekati Yanti. Kupikir ini seperti mengungkapkan cinta yang dulu tak terungkapkan saat SMP. Dulu aku memang pernah menyukai Yanti ketika SMP. Namun cinta monyet segera berlalu. Di SMA aku berpacaran dengan Erlin, Julia, Anna…wah aku memang “buaya”!

Yanti memang tak secantik Kristin yang aduhai itu. Tapi senyumnya yang ikhlas dan natural tanpa sapuan kosmetik itu benar-benar membuatku “melayang”. Entahlah seharusnya aku tidak tertarik pada penampilannya yang “Full Cowled”. Kurasa ada “Something Wrong” pada hatiku. Biasanya aku hanya mengejar gadis untuk “having  fun”. Dan tentu saja gadis yang bisa diajak “having  fun” bukan tipe seperti Yanti  ini. Aku tahu karakter orang-orang berkerudung besar seperti Yanti ini. Mereka anti pacaran !

Karena itu aku mencari metoda pendekatan lain. Kukirim SMS dengan pesan-pesan religius yang kudapat dari anak-anak SKI dan buku-buku agama. Aku kadang sekedar mampir kerumahnya dengan berjuta alasan agar bisa bertemu. Mengajak reuni, atau sekedar menanyakan khabar. Dan tentu saja aku harus tampil dengan penampilan yang menunjang. Harus tampil religius. Baju koko plus peci pinjaman jadi modal meyakinkan. Itupun aku tak pernah bisa  ngobrol  berdua. Yanti selalu mengajak ibunya ikut berbincang. Wah aku jadi keki. Ilmu “menggombal buaya-ku” tak bisa kupakai! Tapi tetap saja aku senang. Melihat senyumnya saja membuatku melihat dunia dua kali lebih indah! Suer!

Setelah berjalan sebulan aku muali yakin bahwa aku jatuh cinta beneran sama Yanti. Kubulatkan tekad untuk menyatakan hatiku padanya. Dengan segenap pengalamanku sebagai “buaya”, kutulis sepucuk surat cinta penuh rayuan gombal yang sampai sekarang masih kami simpan sebagai kenangan. Biasanya kalau aku lagi ngambek, Yanti akan membacakan surat itu keraskeras. Dan tentu saja itu akan mengakhiri mendung di hatiku.

Kukirim surat itu melalui kurir, Udin, seorang ko-as teman SMA-ku. Kupesan agar jawabannya kalau bisa segera. Udin sih oke-oke saja, jajan bakso di Gejayan pasti tidak bisa ditolaknya.

Jantungku berdegup keras ketika Udin meneleponku dan mengatakan Yanti ingin bertemu di bangsal anak satu jam lagi. Degg…satu jam yang sangat lama bagiku. Aku terus berdo’a, “Ya Allah jadikanlah cintaku bersambut cintanya…” ya, kadang-kadang akupun masih ingat Tuhan, terutama disaatsaat tak ada cara lain didalam benakku selain do’a.

Selasar didepan bangsal anak. Peristiwa yang sangat berkesan didalam hatiku. Dengan penampilan yang “meyakinkan”. Baju koko terbaru, dan rambut terpotong rapi, aku melangkah menemui Yanti yang sudah menunggu. Dia masih menggunakan jas praktikum putihnya. Senyumnya sudah mengembang melihat kedatanganku, wah prospek cerah nih !

“Assalamualaikum…sudah baca surat ku khan ?” sapa ku dengan salam. Sesuatu yang amat jarang aku ucapkan.

“Waalaikumsalam. Sudah. Jadi Tyo suka sama saya, cinta sama saya ?” suara lembut seperti seorang ibu  yang menghadapi anak nakalnya. “Terus, sekarang Tyo mau apa ?”

“Ya, terus gimana dengan Yanti ? Yanti terima tidak cinta saya ?” Gleg. Lidahku kelu. Padahal biasanya menggombal adalah keahlianku. Namun kali ini aku benar-benar kena batunya!

“Tentu saja Yanti terima cinta Tyo. Terus habis itu gimana ?” masih dengan senyum lembut yang membuatku hampir tak bisa bicara.

“Ya…terus  kita  jadian.  Kau  jadi  pacarku  begitu…”  jawabku  ragu.  Ingin
kutelan  kalimat  yang  baru  saja  meluncur  dari  mulutku.  Mengingat  aku  tahu
karakter orang-orang seperti Yanti yang anti pacaran.

“Wah, kenapa pacaran ? gimana kalau kita nikah saja ?”

Deg, aku hanya berdiri kaku. Menikah  ? sebuah tantangan yang baru pertama kali ini ku terima. Hari itu “si buaya” benar-benar KO! Aku tak habis pikir. Selama karirku menjadi “buaya”, tak satupun gadis yang berani menantangku untuk menikah. Apalagi saat di “tembak”.

“Me…menikah ? wah, kalau begitu a…aku pikir-pikir dulu…” pikir-pikir ? sebuah jawaban yang tidak bermutu setelah pernyataan cinta yang menggebugebu. Namun, hanya itulah amunisi kata-kata yang kupunyai saat itu. Sementara amunisi lain sudah lenyap karena memang kondisi yang di prediksikan tidak sesuai kenyataan.

Menikah aku harus berani. Tak peduli apa kata orang. Aku sudah jatuh cinta beneran sama Yanti. Masak “buaya” takut di tantang menikah. Tetapi kemudian aku teringat dengan cerita-cerita sumbang tentang pernikahan. Orang yang menikah akan di bebani tanggung jawab. Harus setia. Harus punya pekerjaan. Harus ini. Harus itu. Nanti kalau punya anak kan repot. Perlu biaya besar dan segala macam problema rumah tangga yang kudengar dari mereka yang “berpengalaman” menikah, menghantui pikiranku.

Dan yang jelas setelah menikah aku tidak bebas lagi. Itulah yang terlintas di benakku. Aku mulai ragu. Apalagi sehari setelah peristiwa itu, Kristin mengajak baikan. Aku semakin bingung dan kacau. Disatu sisi jujur kuakui aku sangat takut menikah. Disisi lain aku benar-benar “terobsesi” pada Yanti. I’m trully, madly, deeply, do love her. Pusiinggg…aku mulai takut dan  kacau. Kuliah yang tinggal mengulang sering kutinggalkan. Aku lebih sering membaca buku. Di kos, perpus dan bahkan di toko buku. Temanya tentu saja
pernikahan. Namun semua buku itu hanya membuatku semakin pening. Ada yang bilang menikah disaat kuliah itu sangat mendukung perkembangan jiwa sesorang. Namun di lain buku ada yang menulis bahwa menikah diusia muda hanya akan membawa perceraian dan ketidakbahagiaan.

Akhirnya kuputuskan untuk berpikir sendiri. Sepekan penuh aku berfikir keras. Bahkan laporan praktikum pun harus menunggu. Kucoba menata satupersatu masalah dan potensi yang akan kuhadapi dan aku punyai untuk menikah. Masalah ? tentu saja ada, karena aku masih kuliah, orang bilang kalau menikah saat kuliah akan berantakan salah satunya. Ah, itu Cuma kata orang. Yang lain juga bilang kalau menikah di saat kuliah justru akan membuat kita lebih dewasa.

Kurasa masalah lain yang jauh lebih besar adalah bahwa aku belum punya penghasilan. Kata orang kalau menikah, seorang laki-laki harus menafkahi istri dan keluarganya. Wah, bagaimana mau menafkahi sementara
aku belum kerja. Tapi kurasa babe-ku tidak keberatan untuk melipatduakan dana kiriman bulanan. Selain beliau cukup berada untuk mensuplai dana buatku, beliau juga pernah berkata bahwa, jika kau menikah dan belum punya pekerjaan beliau akan membantu.

Setelah sekian waktu berpikir keras, aku menyerah. Kurasa otak-ku tak kan mampu mengeksekusi sebuah keputusan untuk menikah atau tidak. Ditengah keputusasaanku aku teringat Udin. Kurasa dia bisa membantuku untuk memecahkan masalah ini. Aku selalu percaya anak-anak SKI dan alumninya mempunyai kebijakan yang bisa diandalkan untuk memecahkan masalah-masalah rumit. Mereka punya intuisi yang menakjubkan untuk menghadapai masalah yang berat sekalipun. Aku meminta pertimbangan pada Udin yang alim ini. Udin hanya terwata. “Shalat Istikharah aja, minta petunjuk sama Tuhan.”

Kuputuskan untuk mengikuti saran Udin. Kuambil air wudhu dengan sempurna dan aku shalat dengan khusyuknya. Kurasa itu adalah shalat yang paling khusyuk sepanjang hidupku. Kupasrahkan segalany  pada-Nya. Jikalau Yanti yang terbaik untukku maka kuatkanlah tekadku untuk menikah dengannya. Jikalau bukan maka, biarkanlah kami menjadi sahabat yang sejati. Sebuah do’a yang tak pernah keluar dari dalam hatiku sebelumnya. Namun kini do’a ini amat kusyukuri. Mungkin ini salah satu do’a terbaik sepanjang hidupku.

Esok pagi aku bangun dengan cerah. Tekadku bulat. Tuhan dan cintaku akan menguatkan kelemahanku! Akan kupenuhi tantangan Yanti. Maukah kamu menikah dengan  ku ? kalimat itu terus terucap  dihatiku. Kutelepon orang tuaku. Dan mereka memberiku lampu hijau. “yang penting kamu harus lulus kuliah.” Ya, untungnya orang tuaku permisif untuk urusan ini. Kebetulan keluarga orang tuaku punya kultur menikah di usia muda, dan ini  kusyukuri sampai saat ini. Tak lupa beliau berdua mengcapkan selamat atas keberanianku
untuk menikah. Selama ini beliau berdua selalu mendesakku untuk menikah, tapi aku selalu menjawab, “Ntar, kalo udah lulus…”

Kukurim SMS kepada Yanti. Aku ingin bertemu dengannya di tempat yang sama saat Dia menantangku. Didepan Bangsal Anak. Kubilang aku ingin menyampaikan sesuatu pernyataan penting.

Walaupun hatiku sudah sangat mantap, jantungku masih saja berdegup keras. Dihatiku masih berlintasan berbagai pertanyaan. Bagaimana kalau Dia menolak ?  kalau setuju bagaimana nanti kesiapanku ? Ah, kutepis semua pertanyaan itu. Kalaupun Dia menolak artinya Tuhan belum menentukan Dia sebagai jodohku. Tentang bagaimana nanti, kupasrahkan pada Tuhan. Entahlah, aku lebih religius setelah bertemu dengan Yanti.

Kali ini aku tampil sederhana, aku pasrah pada Tuhan. Aku merasa ringan dan bersih. Kaos lengan panjang hitam, celana kargo dan sandal gunung. Sangat berbeda dengan pertemuan sebelumnya. Aku ingin tampil apa adanya, inilah aku, dengan segala kekuranganku.

Dan selasar didepan Bangsal Anak menjadi saksi. Dengan bergetar, Bismillah kukatakan “Yanti mau kah kau menjadi istriku ?” pernyataan yang terlalu lugas buat seekor “buaya” seperti aku. Namun saat itu hanya itulah kata-kata yang kumiliki. Sebuah ungkapan terjujur yang pernah kuungkapkan pada gadis yang kucintai.

“Saya bersedia…menjadi istri Tyo. Tapi syaratnya…Tyo harus mengaji…” kali ini jawaban Yanti sangat serius. Senyum yang biasanya menghiasi wajahnya menghilang. Suaranya bergetar terbata-bata, seperti suaraku saat mengucapkan pernyataan berat itu dengan serak. Mata indahnya berkaca-kaca.

Dunia seakan lepas dari kaki ku. Semua beban lenyap tak bersisa. Aku mau teriak pada seluruh dunia sebuah proklamasi “Aku cinta Yantiiii…” namun kesadaranku masih bersamaku. Aku masih ingat dimana aku berada. Ku ambil napas panjang, “Alhamdulillah…ya tentu saja aku mau mengaji…”

Sore itu kutraktir Udin atas suksesnya lamaranku. “Wheii…Masya Allah. Selamat ya!” Udin menepuk bahuku dengan bangga. Aku juga bangga dan bahagia.

“Wah kalo begitu nanti, pas walimahannya aku mau jadi event organizer-nya.” Tawaran yang pasti takkan kutolak. Setidaknya Udin-lah mak comblangku. Hari ini sekerat ayam goreng dimulutku terasa sangat  enak. Mungkin yang terenak yang pernah kurasakan.

Pagi itu kuterima SMS dari Yanti. “Ngajinya mulai nanti sore, lho. Nanti jemput Udin di depan parkiran  RS jam 4 sore.” Hah? Ngaji sore-sore? Lagian bukannya ngaji bisa sambil nonton teve. Kayak pengajiannya Aa Gym ? Padahal sore ini aku mau latihan basket. Aku bingung sesaat, namun demi cinta apapun kan kujalani…huiii gombal !!!

Sore itu kujemput Udin. Kami melaju menuju tempat yang ditunjukkan Udin. Sebuah rumah kos kecil di Pugong. Aku heran, tak ada tanda-tanda orang akan pergi mengaji ke situ.

“Mana pengajiannya, Din ? kok sepi ?” tanyaku ragu. “Didalam. Dah masuk ajah.”

Ternyata yang disebut pengajian oleh Yanti, jauh berbeda dengan apa yang aku bayangkan. Sebuah pertemuan kecil. Lima orang dengan salah satunya menjadi pemateri. Dan semuanya mahasiswa! Tak ada kiyai yang kubayangkan mengisi pengajian ini. Dan temanya pun sangat berbeda dengan pengajian yang kukenal.  Disini kami juga membahas politik aktual. Sesuatu yang tabu dibicarakan di pengajian umum.

Aku mudah merasa include dengan mereka meski semua itu asing bagiku. Dengan segala ke-alim-an, keramahan, keterbukaan, mereka membuatku yang masih beginner ini, tidak merasa tertinggal jauh. Tak ada kesan arogan dan merasa lebih senior pada mereka. Walaupun jelas, aku tidak ada apa-apa nya dibanding mereka. Baik politik, apalagi agama.

Dan saat yang agung dalam hidupku itu pun tiba. Setelah sebulan sejak aku  melamar Yanti, kami menikah. Suasana yang begitu sakral kurasakan. Setelah ikrar agung itu ku-ucapkan dan Yanti mencium tangaku pertama kalinya. Tak kuasa kutahan air mata haru dan bahagiaku. Senyum photogenicku berantakan ketika Udin memfoto kami berdua.

“Hoi,  jangan  nangis,  ini  kan  hari  bahagia.”  Udin  terus  saja  menggoda kami.

Ya, sejak saat itulah perjalanan hidup kami lalui bersama. Aku terus berproses menjadi manusia sejati dengan dorongan Yanti yang tak pernah putus. Dialah coach dan trainer-ku. Banyak ilmu agama yang belum kuketahui kudapat darinya. Tak perlu malu atau gengsi. Toh kenyataanya memanh aku yang harus banyak belajar. Walaupun dia juga sering ku training bagaimana merawat mesin motornya dengan baik. 

Saat aku malas mengaji, dialah yang selalu mendorongku. “Bu dokter, hari ini daku absen ngaji ya? Capek nih, habis nguber-nguber dosen pembimbing…”

“Gak boleh darling calon ST. gak boleh males ngaji. Inget janji dulu, hayo. Kalo gak ngaji gak ada yang pijitin nanti malam!” senyum mu memang charger buat semangat ku yang mudah pudar ini.

Kau juga selalu membuatku tak pernah kehabisan energi untuk menyelesaikan tugas akhirku yang berat. Hingga wisudaku begitu tak terasa sudah didepan mata. Foto wisuda bersama istri yang dulu kuanggap khayal terwujud juga! Wah senangnya.

Namun ternyata hidup tidak berhenti dengan wisudaku sebagai S.T. Dunia kerja ternyata tidak seramah yang kukira. Berkali-kali aku melamar pekerjaan, berulang-ulang pula aku harus mengambil kembali lamaranku. Namun Yanti tak pernah merasa lelah untuk menyemangatiku. Saat ku lelah dialah tempatku bersandar, saat ku patah dialah yang sembuhkan aku. Diala yang telah membimbingku menjadi manusia sejati. Dialah anugerah terindah yang pernah kumiliki. Yang menuntunku dari kegelapan menuju cahaya Illahi.

Sore itu kuketuk pintu rumah dengan semangat. Kudengar langkahnya tergesa menuju pintu. Pintu terbuka dan seperti biasa senyumnya menyambutku hangat. Dia baru saja hendak mencium tanganku sebelem kuraih pinggang nya dan kupeluk dia sambil berputar-putar.

“Eh,eh, apaan nih…turun-turun…” jeritnya meronta-ronta.

“Gak mau. Gak akan kuturunkan sampai aku pusing. Aku diterima, honey!” teriakku sambil terus berputar dan menjatuhkan diri. “Alhamdulillah…eit, tapi ingat lima puluh persen dari penghasilan bulanan harus diserahkan pada sang istri.” Godanya sambil menunjuk hidungku.

“Gak mau, akan ku berikan semuanya buat kekasihku. Itu lo yang dokter eh insinyur itu. Siapa namanya ?  Emmm… Kristin atau…” kataku sambil memencet hidungnya.

“Apa…dasar buaya jahat…”

“Eh, kok malah senyum-senyum sendiri? Gak enak ya sopnya?” pelukan hangat istriku membuyarkan lamunan nostalgiaku.

“Emmm…enak-enak. Cuma lagi ngelamunin, gimana tampang baby kita kalo udah lahir nanti.”

“Uuu…gombal!” Seperti biasa kalau gemas, Yanti mencubitku. Aku hanya tertawa.

Sungguh besar pahala bagi mereka yang menjadi jalan hidayah bagi seseorang. Kukecup kening  permataku. Kekasihku, bidadari tak secantik senyummu. Semoga Allah menetapkan surga untukmu, untuk semua pengorbanan dan baktimu.

Oleh: Gunawan & Kusumastuti
on Selasa, 26 November 2013
Bagaimana pandangan Ibnu Qoyyim tentang pacaran ? Kata Ibnu Qoyyim, "Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta. Malah, cinta diantara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan. Karena bila keduanya telah merasakan kenikmatan dan cita rasa cinta, tidak boleh tidak akan timbul keinginan lain yang tidak diperoleh sebelumnya."

"Bohong !" Itulah pandangan mereka guna membela hawa nafsunya yang dimurkai Allah, yakni berpacaran. Karena mereka telah tersosialisasi dengan keadaan seperti ini, seolah-olah mengharuskan adanya pacaran dengan bercintaan secara haram. Bahkan lebih dari itu mereka berani mengikrarkan, bahwa cinta yang dilahirkan bersama dengan sang pacar adalah cinta suci dan bukan cinta birahi. Hal ini didengung-dengungkan, dipublikasikan dalam segala bentuk media, entah cetak maupun elektronika. Entah yang legal maupun ilegal. Padahal yang diistilahkan kesucian dalam islam adalah bukanlah semata-mata kepemudaan, kegadisan dan selaput dara saja. Lebih dari itu, kesucian mata, telinga, hidung, tangan dan sekujur anggota tubuh, bahkan kesucian hati wajib dijaga. Zinanya mata adalah berpandangan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya, zinanya hati adalah membayangkan dan menghayal, zinannya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrim. Dan pacaran adalah refleksi hubungan intim, dan merupakan ring empuk untuk memberi kesempatan terjadinya segala macam zina ini.

Rasulullah bersabda, "Telah tertulis atas anak adam nasibnya dari hal zina. Akan bertemu dalam hidupnya, tak dapat tidak. Zinanya mata adalah melihat, zina telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berkata, zina tangan adalah menyentuh, zina kaki adalah berjalan, zina hati adalah ingin dan berangan-angan. Dibenarkan hal ini oleh kelaminnya atau didustakannya."

Jika kita sejenak mau introspeksi diri dan mengkaji hadist ini dengan kepala dingin maka dapat dipastikan bahwa segala macam bentuk zina terjadi karena motivasi yang tinggi dari rasa tak pernah puas sebagai watak khas makhluk yang bernama manusia. Dan kapan saja, dimana saja, perasaan tak pernah puas itu selalu memegang peranan. Seperti halnya dalam berpacaran ini. Pacaran adalah sebuah proses ketidakpuasan yang terus berlanjut untuk sebuah pembuktian cinta. Kita lihat secara umum tahapan dalam pacaran.
  1. Perjumpaan pertama, yaitu perjumpan keduanya yang belum saling kenal. Kemudian berkenalan baik melalui perantara teman atau inisiatif sendiri. hasrat ingin berkenalan ini begitu menggebu karena dirasakan ada sifat-sifat yang menjadi sebab keduanya merasakan getaran yang lain dalam dada. Hubungan pun berlanjut, penilaian terhadap sang kenalan terasa begitu manis, pertama ia nilai dengan daya tarik fisik dan penampilannya, mata sebagai juri. Senyum pun mengiringi, kemudian tertegun akhirnya jantung berdebar, dan hati rindu menggelora. Pertanyaan yang timbul kemudaian adalah kata-kata pujian, kemudian ia tuliskan dalam buku diary, "Akankah ia mencintaiku". Bila bertemu ia akan pandang berlama-lama, ia akan puaskan rasa rindu dalam dadanya.
  2. Pengungkapan diri dan pertalian, disinilah tahap ucapan I Love You, "Aku mencintaimu". Si Juliet akan sebagai penjual akan menawarkan cintanya dengan rasa malu, dan sang Romeo akan membelinya dengan, "I Love You". Jika Juliet diam dengan tersipu dan tertunduk malu, maka sang Romeo pun telah cukup mengerti dengan sikap itu. Kesepakatan  pun dibuat, ada ijin sang romeo untuk datang kerumah, "Apel Mingguan atau Wakuncar". Kapan pun sang Romeo ingin datang maka pintu pun terbuka dan di sinilah mereka akan menumpahkan perasaan masing-masing, persoalanmu menjadi persoalannya, sedihmu menjadi sedihnya, sukamu menjadi riangnya, hatimu menjadi hatinya, bahkan jiwamu menjadi hidupnya. Sepakat pengin terus bersama, berjanji sehidup semati, berjanji sampai rumah tangga. Asyik dan syahdu.
  3. Pembuktian, inilah sebuah pengungkapan diri, rasa cinta yang menggelora pada sang kekasih seakan tak mampu untuk menolak ajakan sang kekasih. " buktikan cintamu sayangku". Hal ini menjadikan perasaan masing-masing saling ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan diantara keduanya. Bila sudah seperti ini ajakan ciuman bahkan bersenggama pun sulit untuk ditolak. Na'udzubillah
Begitulah akhirnya mereka berdua telah terjerumus dalam nafsu syahwat, tali-tali iblis telah mengikat. Mereka jadi terbiasa jalan berdua bergandengan tangan, canda gurau dengan cubit sayang, senyum tawa sambil bergelayutan,  dan cium sayang melepas abang. Kunjungan kesatu, kedua, ketiga, keseratus, keseribu, dan yang tinggal sekarang adalah suasana usang, bosan, dan menjenuhkan percintaan. Segalanya telah diberikan sang Juliet, Juliet pun menuntut sang Romeo bertanggung jawab ? Ternyata sang romeo pergi tanpa pesan walaupun datang dengan kesan. Sungguh malang nasib Juliet.

Wahai para Muslimah sadarlah akan lamunan kalian, bayang-bayang cinta yang  suci, bukanlah dengan pacaran, cobalah pikirkan buat kamu muslimah yang masih bergelimang dengan pacaran atau kalian wahai pemuda yang suka gonta-ganti pacar. Cobalah jawab dengan hati jujur pertanyaan-pertanyaan berikut dan renungkan.

  1. Apakah kamu dapat berlaku jujur tentang hal adegan yang pernah kamu kamu lakukan waktu pacaran dengan si A, B, C s/d Z kepada calon pasangan yang akan menjadi istri atau suami kamu yang sesungguhnya ? Kalau tidak kenapa kamu berani mengatakan, pacaran merupakan suatu bentuk pengenalan kepribadian antara dua insan yang saling jatuh cinta dengan dilandasi sikap saling percaya ? Sedangkan kenapa kepada calon pasangan hidup kamu yang sesungguhnya kamu berdusta ? Bukankah sikap keterbukaan merupakan salah satu kunci terbinanya keluarga sakinah?
  2. Mengapa kamu pusing tujuh keliling untuk memutuskan seseorang menjadi pendamping hidupmu ? Apakah kamu takut mendapat pendamping yang setelah sekian kali pindah tangan ? "Aku ingin calon pendamping yang baik-baik" Kamu katakan seperti ini tapi mengapa kamu begitu gemar pacaran, hingga melahirkan korban baru yang siap pindah tangan dengan kondisi "Aku bukan calon pendamping yang baik", bekas dari tanganmu, sungguh bekas tanganmu ?
  3. Jika kamu disuruh memilih diantara dua calon pasangan hidup kamu antara yang satu pernah pacaran dan yang satu begitu teguh memegang syari'at agama, yang mana yang akan kamu pilih ? Tentu yang teguh dalam memegangi agama, ya kan ? Tapi kenapa kamu berpacaran dengan yang lain sementara kamu menginginkan pendamping yang bersih ?
  4. Bagaimana perasaan kamu jika mengetahui istri/ suami kamu sekarang punya nostalgia berpacaran yang sampai terjadi tidak suci lagi ? Tentu kecewa bukan kepalang. Tetapi mengapa sekarang kamu melakukan itu kepada orang yang itu akan menjadi pendamping hidup orang lain ?
  5. Kalaupun istri/ suami kamu sekarang mau membuka mulut tentang nostalgia berpacaran sebelum menikah dengan kamu. Apakah kamu percaya jika dia bilang kala itu kami berdua hanya bicara biasa-biasa saja dan tidak saling bersentuhan tangan ? Kalau tidak kenapa ketika pacaran bersentuhan tangan dan berciuman kamu bilang sebagai bumbu penyedap ?
  6. Jika kamu nantinya sudah punya anak apakah rela punya anak yang telah ternoda ? Kalau tidak kenapa kamu tega menyeret orang tua kamu ke dalam neraka Api Allah ? Kamu tuntut mereka di hadapan Allah karena tidak melarang kamu berpacaran dan tidak menganjurkan kamu untuk segera menikah
Karena itu wahai muslimah dan kalian para pemuda kembalilah ke fitrah semula. Fitrah yang telah menjadi sunattullah, tidak satupun yang lari daripadanya melainkan akan binasa dan hancur.

Sumber: Ngaji Salaf 2000
on Senin, 25 November 2013
Pada pembahasan ini kita akan mengangkat masalah pacaran. Pacaran yang sudah merupakan fenomena mengejala dan bahkan sudah seperti jamur di musim hujan menjadi sebuah ajang idola bagi remaja. Cinta memang sebuah anugerah, cinta hadir untuk memaniskan  hidup di dunia apalagi rasa cinta kepada lawan jenis, sang pujaan hati atau sang kekasih hati menjadikan cinta itu begitu terasa manis bahkan kalau orang bilang bila orang sudah cinta maka empedu pun terasa seperti gula. Begitulah cinta, sungguh hal yang telah banyak menjerumuskan kaum muslimin ke dalam jurang kenistaan manakala tidak berada dalam jalur rel yang benar. Mereka sudah tidak tahu lagi mana cinta yang dibolehkan dan mana yang dilarang.

Kehidupan seorang muslim atau muslimah tanpa pacaran adalah hambar, begitulah kata mereka. Kalau dikatakan tidak usah kamu pacaran maka serentak ia akan mengatakan " Lha kalo nggak pacaran, gimana kita bisa ngenal calon pendamping kita ?" Kalau dikatakan pacaran itu haram akan dikatakan, "pacaran yang gimana dulu". Beginilah keadaan kaum muda sekarang, racun syubhat dan racun membela hawa nafsu sudah menjadi sebuah hakim akan hukum halal-haram, boleh dan tidak. Tragis memang kondisi kita ini, terutama yang muslimah. Mereka para muslimah kebanyakan berlomba-lomba untuk mendapatkan sang pacar atau sang kekasih, apa sebabnya, "Aku takut nggak dapat jodoh ". Muslimah banyak ketakutan-nya tentang calon pendamping, karena mereka tahu bahwa perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1 : 5. Tapi apakah jalan pacaran sebagai penyelesaian ? Jawabnya Tidak. Bagaimana bisa, kita ikuti selengkapnya pembahasan ini sebagai berikut, (diambil dari buku Pacaran dalam Kacamata Islam karya Abdurrahman al-Mukaffi)

Dikatakan beliau bahwa  pacaran dikategorikan sebagai nafsu syahwat yang tidak dirahmati oleh Allah, karena ketiga rukun yang menumbuhkan rasa cinta menyatu di luar perkawinan. Hal ini dilakukan dengan dalih sebagai suatu penjajakan guna mencari partner yang ideal dan serasi bagi masing-masing pihak. Tapi dalam kenyataannya masa penjajakan ini tidak lebiih dimanfaatkan sebagai pengumbaran nafsu syahwat semata-mata, bukan bertujuan secepatnya untuk melaksanakan perkawinan. Hal ini tercermin dari anggapan mereka bahwa merasakan ideal dalam memilih partner jika ada sifat-sifat sebagai berikut :
  1. Mereka merasa beruntung sekali jika selalu dapat berduaan, dan berpisah dalam waktu pendek saja tidak tahan rasanya. Dan keduanya merasa satu sama lain saling memerlukan. 
  2. Mereka merasa cocok satu sama lainnya. Karena segala permasalahan yang sedang dihadapi dan dirasakan menjadi masalah yang perlu dicari pemecahannya bersama. Hal ini dimungkinkan karena mereka satu dengan lainnya merasa dapat mencapai saling pengertian dalam seluruh aspek kehidupannya. 
  3. Mereka satu sama lain senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk menuruti kemauan sang kekasih. Hal ini dimungkinkan karena perasaan cinta yang telah tumbuh secara sempurna dengan pertautan yang kuat. 
Tapi tanpa disadari, pacaran itu sendiri telah melambungkan perasaan cinta maki tinggi. Di sisi lain pacaran menjurus pada hubungan intim yang merusak cinta, melemahkan dan meruntuhkannya. Karena pada hakekatnya hubungan intim dalam pacaran adalah tujuan yang hendak dicapai dalam pacaran. Oleh karena itu orang yang pacaran selalu mendambakan kesyahduan. Dengan tercapainya tujuan tersebut kemungkinan tuntutannya pun mereda dan gejolak cintanya melemah. Hingga kebencian menghantui si bunga yang telah layu, karena si kumbang belang telah menghisap kehormatan secara haram.

Tak ubahnya seperti apa yang di inginkan oleh seorang pemuda untuk memadu cinta dengan dara jelita kembang desanya dalam pandangannya sang dara tampak begitu sempurna hingga kala itu pikiran pun hanyut, malam terkenang, siang terbayang, makan tak enak, tidur pun tak nyenyak, selalu terbayang si  dia yang tersayang. Hingga tunas kerinduan menjamur menggapai tangan, menggelitik sambil berbisik. Bisikan nan gemulai, tawa-tawa kecil kian membelai, canda-canda hingga terkulai, karena asyik, cinta pun telah menggulai. Menggulai awan yang mengawang, merobek cinta yang tinggi membintang, hingga luka mengubur cinta. *Bersambung

Sumber: Ngaji Salaf 2000

Pages

@IoAddakhil. Diberdayakan oleh Blogger.