on Jumat, 22 September 2017
Hari Kamis 21 September 2017 saya menulis tulisan ini. Tepatnya setelah nonton acara #IniTalkshow90an seperti biasa bertempat di tempat terfavorit, kamar tidur tanpa cahaya lampu. Oia, jika boleh ngasih tau paha dan kaki saya sedikit nyut-nyutan nih, tadi siang abis sepedaan sambil beli modem baru sekalian nengok ponakan yang menempuh kehidupan baru dimana lahir dari rahim salah satu member #Manbis09 Lumayan jauh sepedaannya kayanya bisa sampe 30 KM lebih deh, tapi sayang record di Google Fit corrupt gara-gara HP saya mati habis daya. Jadi ga bisa liat detail lengkap perjalanan sepedaannya, sayang sekali.

Sambil dengerin lagu duet Khai Bahar sama Baby Shima di Youtube, saya mikir mau nulis apaan nih bingung dan susah juga nemuin temanya. Tapi setelah itu saya teringat pernah baca menurut orang-orang menulis yang paling mudah itu adalah menulis pengalaman pribadi, jadi saya putusin buat cerita pengalaman pribadi aja di tulisan ini. Walau cuma curat, tetep aja harus meres otak nulisnya. Mikir, mengingat-ingat kejadian, memilih kata-kata yang tepat, baca bolak-balik takut ada yang typo dll.

Mulai aja yah. Jadi begini, di zaman modern seperti sekarang kan ada beragam macam media social tercipta dan sebagai generasi kekinian tentunya saya juga wajib memilikinya dong. Tapi dari beberapa media social yang populer sekarang ini, saya setiap harinya wajib akses yang namanya Twitter dan bisa berselancar berjam-jam disitu. Kalau boleh milih saya mendingan ga bisa buka Instagram daripada ga bisa buka Twitter. Bisa galau saya kalau ga bisa akses Twitter, salah satu alasannya adalah banyak informasi fresh dan penting secara aktual disampaikan di Twitter. Walaupun begitu yah di Twitter banyak sampah nalarnya juga sih.

Beberapa hari yang lalu saya merinding, hidung memerah dan kemudian mulai mbrebes mili gara-gara baca postingan Twitter dari akun @scorpioritta yang di retweet sama @BiLLYKOMPAS yang dimana ceritanya mengenai Hartono, Ojek Konvensional yang Tak Kenal Lelah. Kisahnya viral dan kemudian @scorpioritta mulai menggalang dana mengajak orang-orang untuk berdonsi lewat @kitabisacom Mungkin teman-teman yang baca tulisan saya ini belum mengetahui kisahnya, jadi saya coba sedikit copy-paste cerita Hartono, Ojek Konvensional yang Tak Kenal Lelah dari web @kitabisacom, berikut ceritanya:

Pak Hartono, pria 63 tahun yang masih harus bertaruh nyawa menembus jalanan Jakarta demi Rupiah yang belum tentu dia dapatkan.

Malam itu, Rabu 13 September 2017, persis jam 10 malam di mana waktu operasional Grand Indonesia berakhir, saya memesan ojek online untuk pulang ke rumah. Namun setelah lama menunggu, ojek online yang saya pesan tidak kunjung tiba dan tidak bisa dihubungi. Terpaksa akhirnya saya tekan opsi “Cancel” pada aplikasi.

Selagi berdiri di kerumunan ojek online, seseorang menyapaku ramah.

“Mba, ojek, Mba? Saya bukan ojek online, tapi saya mau antar Mba ke mana pun,” tawar sosok renta itu kepadaku.

Spontan kugelenggkan kepala karena aku butuh beberapa saat untuk yakinkan diri bahwa situasi aman—iya di Jakarta memang perlu insecure untuk secure.

Setelah memastikan kondisi terkendali, kuhampiri Bapak tadi. Kusebutkan tujuanku yang segera diamininya, “Oh, ayo, Mbak!” ucapnya semangat bahkan tanpa bertanya soal berapa tarif yang akan dia dapat nanti.

Dari kawasan Menteng, Jakarta Pusat, kunaiki Honda Astera 1997 yang sudah tidak bisa melaju kencang menuju Rawamangun. Di jalan, aku membuka obrolan yang disambut dengan sangat hangat oleh si Bapak.

“Bapak namanya siapa?”

“Hartono, Mba.”

“Salam kenal, Pak Hartono. Saya Tiara. Kenapa nggak gabung ojek online aja, Pak? Kan biar lebih gampang dapat penumpangnya,” aku membuka bincang dengan satu saran.

“Usia saya sudah 63 tahun, Mba. Nggak diterima lagi. Mungkin mereka khawatir saya nggak bisa buka handphone, hehehe,” jawabnya seraya terkekeh kecil.

Dheg. 63 tahun. Usia yang persis sama saat Ayahku meninggal dua tahun lalu.

“Oh gitu. Jadinya Bapak cari penumpang keliling aja, ya. Emangnya rumah Bapak di mana?”

“Cengkareng, Mba.”

“Cengkareng, Pak?” aku ulang jawabannya dengan nada meninggi seolah tidak percaya.

Kupikir lagi. Jarak Cengkareng-Menteng itu jauh, lho. Naik motor tua yang jalannya nggak laju lagi, mungkin akan memakan waktu tidak sebentar.

“Iya, Mba. Soalnya di daerah saya sepi penumpang. Jadi saya harus cari tempat yang banyak orangnya, kayak di mall-mall gitu.”

“Biasanya mangkalnya di mana aja, Pak?”

“Nggak pernah mangkal di satu tempat, Mba. Keliling aja. Soalnya kalau mangkal, suka diusir sama satpam atau ojek pangkalan setempat.”

“Oh gitu, Pak. Biasanya narik dari jam berapa, Pak?”

“Jam 6, Mba.”

“Pulang jam berapa?”

“Jam 12 malam.”

“Dapat banyak penumpang nggak?”

“Nggak bisa dipastikan, Mba. Pernah juga nggak dapat sama sekali,” tuturnya lirih.

Sampai di sini aku tercekat. Hari itu, aku begitu banyak mendapat kemudahan dan keberkahan hidup. Sementara di hari yang sama, ada sesamaku yang begitu sulit untuk bertahan. Aku terdiam karena kata-kata mulai meleleh bersama air yang mulai mengambang di kelopak mata.

Singkat cerita, Pak Hartono adalah kepala keluarga yang masih harus menghidupi satu istri dan ketiga anaknya yang masih sekolah SMA dan SMP. Sebagai tulang punggung tambahan, istrinya membantu keuangan keluarga dengan berjualan donat.

Sampai barusan saya cek donasi yang dikumpulkan di @kitabisacom mencapai tujuh puluhan juta rupiah dari target donasi sebesar lima puluh juta rupiah. Alhamdulillah luar biasa sekali memang warganet Indonesia ini, diballik cerita katanya mereka individualistis dan katanya perekonomian sedang susah mereka dapat berbondong-bondong berdonasi membantu.

Cerita lain yang saya alami sendiri pada hari Rabu tanggal 20 September 2017. Saat itu saya berencana pulang ke Bandung pakai kereta jam 18:45 dari Stasiun Gambir, karena ada rapat tim saya baru bisa keluar kantor jam 17:20. Beruntungnya saya dapat mamang Ojek Online yang cekatan menghindar kemacetan Ibu Kota dikala jam sibuk pulang kantor, kurang lebih jam 18:15 saya sampai di Stasiun Gambir kemudian langsung cetak Boarding Pass. Kereta take off tepat pukul 18:45 dan lucunya saya bertemu salah satu member #JalanSore di Kereta padahal kita ga janjian pulang bareng loh, dan tepat jam 21:45 kereta sampai di Stasiun Bandung dengan selamat, Alhamdulillah. Memang sepertinya sekarang Argo Parahyangan akan jadi pilihan utama kalau pulang ke Bandung menghindari kemacetan mengerikan di jalan tol yang sudah padat dan kemudian sekarang ditambah proyek kereta Light Rail Transit & proyek jalan tol Jakarta-Cikampek II elevated yang membuat jalan tol semakin crowded.

Sampai di Stasiun Bandung masuk seorang Bapak yang menawarkan jasa angkut barang, padahal kereta belum sepenuhnya berhenti. Bapak porter tersebut bisa di bilang tidak muda lagi, mungkin umurnya sama seperti Bapak Hartono ojek konvensional yang saya ceritakan sebelumnya. Tapi di balik tubuh rentanya pada malam menjelang larut hari itu Bapak porter masih dengan semangat menawarkan jasanya, walau begitu sepertinya di gerbong kereta yang saya naiki tidak ada penumpang yang membawa barang berlebih yang bisa memakai jasa si Bapak porter. Saya sendiri cuma bawa satu tas berisi satu laptop dan satu novel yang belum selesai di baca, semoga di gerbong lain ada ibu-ibu habis pulang belanja di Pasar Tanah Abang bawa banyak gembolan belanjaan yang dengan senang hati barangnya di bantu diangkat Bapak porter.

Kisah lain tentang seseorang yang memperjuangkan hidupnya saya lihat beberapa minggu lalu. Sepulang kerja yang kebetulan waktu itu dapet jadwal piket jadi saya pulang aga larut malam, karena kuota internet habis saya mampir dulu ke konter HP deket kosan. Ketika nunggu Abang konter melayani customer lain saya liat ada seorang Ibu mengorek-ngorek tong sampah tidak jauh dari konter HP, si Ibu dengan tekun memilah-milah botol dan plastik bekas yang kemudian dimasukkan ke karung yang dibawanya. Seketika tenggorokan tercekat, si Ibu yang sepertinya usianya seumuran dengan Mamah saya malam-malam harus jalan kaki berkeliling mencari barang bekas yang dapat di jual untuk menyambung kehidupannya. Barang bekas yang akan terkumpul mungkin harganya tidak akan mencapai puluhan atau ratusan ribu seperti harga kuota internet yang saya akan belanjakan di konter HP pada malam itu. Padahal mungkin isi kuota yang dibeli cuma habis buat view Instagram Story, nonton video di Youtube atau streaming sepak bola.

Dibalik gemerlap dan hingar-bingarnya Ibu Kota banyak orang yang sedang memperjuangkan kehidupannya, baik itu orang-orang yang berjuang menambah simpanan di rekeningnya maupun orang-orang yang berusaha bertahan menyambung kehidupannya. Posisi saya dimana ? Saya berasal dari keluarga yang sederhana saja dan Alhamdulillah sudah bekerja di salah satu Bank BUMN. Gaji Banker dengan jabatan staf biasa emang ga gede-gede banget tapi ya bersyukur sudah mandiri dan sedikit-sedikit bisa bantu keluarga dan ngasih jajan Ade.

Sebenernya di balik sifat saya yang sedikit keras dan terlihat cuek saya punya hati yang sensitif. Orang yang gampang mbrebes mili, tapi katanya orang yang mudah mengeluarkan air mata punya stok empati yang besar banget, mereka dengan mudah menempatkan diri di posisi orang lain. Saya berharap semoga saya selalu bisa membatu dan menyenangkan orang lain karena sebenarnya berbuat baik kepada orang lain akan melahirkan hubungan kasih sayang di antara sesama. Mungkin baiknya niat baik itu bukan harapan saya sendiri, tetapi menjadi harapan kita semua. Dunia memang bukan pabrik pengabul permintaan, tetapi harapan untuk bisa selalu membantu orang saya rasa pasti akan dimudahkan oleh Yang Maha Kuasa.

Amin...


Glosarium:
Mbrebes Mili adalah berlinang air mata
#Manbis09 adalah Manajemen Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia Angkatan 2009, dimana saya sempat menjadi Ketua Kelas disana
#JalanSore adalah nama salah satu Group Whatsapp di HP saya yang berisi beberapa alumus Manajemen Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia lintas angkatan

Pages

@IoAddakhil. Diberdayakan oleh Blogger.